Makalah Tarikh Tasyri Pengharaman Riba
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sebagaimana ilmu
keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap
berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya,
tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah
utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah
saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami
hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah
saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in
cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh
metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat
sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai
hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan
mengenai asal dari ushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu
lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh.
Akan tetapi, fakta sejarah menjukkan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh.
Sedangkan dari segi penyusunannya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu
ushul fiqh.[1]Namun,
Terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan dijelaskan secara
rinci mengenai hal ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana
perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi?
2) Bagaimana
perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?
3) Bagaimana tahap-tahap
perkembangan ushul fiqih?
4) Bagaimana pembukuan
ushul fiqih?
5)
Bagaimana
perkembangan ushul fiqh di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini kami akan mencoba mengulas
tentang sejarah perkembangan ushul fiqh mulai zaman Nabi
hingga sampai ushul fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu tertsendiri. Agar
kita mengerti tentang sejarahnya dan dapat bermanfaat bagi semua orang
khususnya umat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Periode Rasulullah
Di zaman Rasulullah
SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW
sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepadamu melalui
pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum
Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber
fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini
didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk
menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا
إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ
اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي
قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi
bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?,
ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi
bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya
putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau
temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan
penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).”
Dari keterangan di atas
dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa
sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang
membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya
di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut
tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi
mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan
keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat
dalam Al-Quran dan Sunnah.[2]
Artinya dengan
keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah
telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah
haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap
urusan-urusan keduniaan.
Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر
د نيا كم
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk
melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan
tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya
yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau
salah.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang
otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat
berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang
ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan
Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat
penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum
Islam bidang muamalah.
Dalam beberapa kasus,
Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya
puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu
batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian
bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas
telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan
tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya
sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.[3]
2.2. Periode Sahabat
Semenjak Nabi Saw
wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada tahun
11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh
para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn
Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang
pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan
yang amat sedikit.
Para sahabat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam
pandangan sahabat seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam
al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses
pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari
permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini
mencakup qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum
menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih,
namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Memang, semenjak masa
sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat
Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada
masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak
masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta
belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
لا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Artinya :
“Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu,
jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh
ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya
baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak
adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak
disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam
Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa
sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata
lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek
berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu
yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak
dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui
cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak
langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul)
ayat-ayat Al-Qur’an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai
ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam
menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang
luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka
mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.[4]
2.3. Periode Tabi’in
dan Imam Mazhab
Pada masa tabi’in,
tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah
wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah
yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab
dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara
para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk
daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan
pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang
besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada
masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan
dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun
dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’
sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash
tersebut.
2.4. Tahap
Perkembangan Ushul Fiqih
Secara
garis besarnya, ushul fiqih
dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1. Tahap Awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di
bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur.
Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah :
Al-Ma’mun(w.218H), Al-Mu’tashim(w.227H), Al Wasiq(w.232H), dan
Al-Mutawakil(w.247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. Salah satu hasil
dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah
berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya
mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqih
yang pertama-tama tersusun secara
utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqih
ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai
kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul
fiqih setingkat dengan
kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam
ilmu Ar-rud”.
Maka datanglah Al-Syafi’i
menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada
orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqih
sesudah As-Syafi’i, mereka tetap
bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah
kitab ushul fiqih
lainnya. Namun perlu
diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak
mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqih
yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam
kitab-kitab fiqih, dan inilah salah
satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam Madzhabnya
sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqih
tersebut. Golongan Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai
perintis pertama ushul fiqih
dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah
dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua
hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulullah
pada saat yang sama, Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa
kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadits saja.
2. Tahap Perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad
merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abaSsiyah dalam bidang politik.
Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena
masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqih
Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah
tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti
pada abad ini. Mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang
khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqih
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan
penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu
dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Sebagai tanda berembangnya
ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul
fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqih
diantara kitab yang terkenal adalah:
a) Kitab
Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal
Dalaham Al-Kharkhi,(w.340H.)
b)
Kitab
Al –Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim
yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (305H.)
c) Kitab
Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad
Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang
menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqih
pada abad 4H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqih
yang membahas ushul fiqih secara utuh dan
tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun
ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak
atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
3. Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam
tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara,
Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para
sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu
dan peradaban. Hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang
menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya. Para
pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka,
untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam
penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi
Islam pada kemudian hari senantiasa
menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi
sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini
merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat
kitab-kitab yang mnjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih
slanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping
mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga
menunjukan adanya aliran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan
alira fuqoha, dan aliran Mutakalimin
2.5. Pembukuan
Ushul Fiqih
Salah satu yang
mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah
dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh. Dikatakan oleh Ibnu
Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam
Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai
kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali
membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya
adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang
diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul
Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para
ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Dengan demikian
bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya.
Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya
dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati
dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu
Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan
bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis-
lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum,
dan maslahah-mursalah.
Pada
periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia
memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta
petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i
bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi
pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran
fiqih yang bermacam-macam,
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik
(ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid
Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah
menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang
salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul
Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu
Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula
pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah
orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.
2.6.
Sejarah Perkembangan
dan Pertumbuhan Ushul Fiqih di Indonesia
Sebagaimana yang
telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu
ushul fiqih, sedangkan pada
waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untuk mempelajari ilmu fiqih
mazhab Imam Syafe’I dan mengajarkan Tafsir Jailanin, juga hal-hal yang
berhubungan dengan ilmu Nahu dan Sharaf. Orang yang bisa mempelajari
bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu
pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat.
Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkanbermacam-macam Ilmu.
Yang pertama kali
mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang
Minangkabau (Sumatera Barat), salah seorang imam yang tekun sebagai imam
Syafe’I di Mesjid Haram dalm belajar.
Alm Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan
yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah
itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqh, Tauhid, Musththalah Hadist,
BAyan, Ma’aniy, Badi’Arud, Qawafiy, dan lain-lain.[5]
Selesainya mereka mempelajari
dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan
mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antar mereka yang
terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim
Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, sayekh Ibrahim Musa,
Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil JAbo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan
Syekh Abdullah Halaban, serta beberapa ulama
lainnya.
Walaupun ilmu Ushul
Fiqih sudah menjadi
berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama-ulama di waktu itu bertekun
mempelajarinya.mengharapkan masalah-masalah fiqh, sehingga mereka tidak
langsung menerima apa yang di katakn oleh Fuqaha sebelumnya, tetapi adalah
dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat dalam
undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Kemudian barulah
mengatur pelajaran Ushul Fiqh dalam bermacam-macam tingkatan. Seperti:Tingkatan
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain .
BAB III
PENUTUP
3.2.
Kesimpulan
Dari penjelasan pada
makalah ini kita mengetahui bahwa pada hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
itu telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh
belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan
pada saat itu untuk menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh,
seperti berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi)
pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang
berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah masa imam Syafi’I banyak
karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa
perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.
1. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak
zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
2. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui
hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah
hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan
menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
3. Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah
satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan
social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga
hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima
dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh
Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga
muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih
selanjutnya.
Demikian
makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka
setia bandung,2007,bandung
Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori
Hukum Islam,Pustaka Pelajar Offset, 1996,Jakarta
Djazuli, Ilmu
Fiqh, Prenada Media
Group,2007,Jakarta
https://zulhusainihero.wordpress.com/2012/10/17/makalah-ushul-fiqh-sejarah-perkembangan-fiqh/
Komentar
Posting Komentar