Makalah Ahwal Asy-Syakshsiyyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ahwal
Asy-Syakhshiyyah atau hukum keluarga adalah hukum yang telah dilaksanakan di
dunia Islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Sehingga kesadaran
untuk menerapkan hukum keluarga di dunia Islam sangatlah tinggi, bukan
saja di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, tetapi di negara-negara sekuler di mana kaum
muslimin menjadi penduduk yang minoritas pun, hukum keluarga Islam ini
diterapkan dan ditaati oleh keluarga-keluarga muslim, seperti di Birma,
Singapura, dan Filipina Selatan (Mindanau).
Hukum
keluarga ini diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat melalui dakwahnya
dan sekaligus memberikan contoh pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menjadikan hukum Islam dibidang hukum
keluarga ini menjadi hukum adatnya, karena para da’i dan contoh kehidupan serta
lembaga-lembaga pendidikan merujuk kepada mazhab tertentu, maka wajar apabila
dibanyak negara warna mazhab masih tampak di dalam undang-undang hukum
perkawinannya.
A. Rumusan Masalah
Untuk
lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat
rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa saja kaidah-kaidah fikih khusus di
bidang ahwal asy-syakhshiyyah?
B. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1. Untuk mengetahui dan memahami kaidah-kaidah
fikih khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah.
C. Batasan Masalah
Mengingat
begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka
penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan
masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak
penulis uraikan pada makalah ini.
D. Metodologi Penulisan
Adapun
metodologi penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini
adalah research library dengan menggunakan buku perpustakaan
dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAIDAH-KAIDAH FIKIH KHUSUS DI
BIDANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah adalah istilah bagi
keseluruhan hukum yang menyangkut masalah keluarga dan peradilan Islam seperti
hukum perkawinan, kewarisan, wasiat dan Peradilan Agama. Pada awalnya
pembahasan hukum-hukum tersebut terdapat pada bab-bab fiqh yang terpisah. Baru
kemudian pada paruh kedua abad ke-19 hukum-hukum yang dikategorikan hukum
keluarga dihimpun dalam satu kajian khusus, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah.
Kaidah
yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga)
menjadi penting karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadis kepada masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah
ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah.
Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah memberi tuntunan yang cukup untuk
pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian
beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil
dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.
Dalam
hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat,
wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga.
Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain:
1.
الأَصْلُ
فِي الَإ بْضَاعِ التَّحْرِيْمُ
Artinya:
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud
kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang
sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu
dengan adanya akad pernikahan. Contohnya, pemuda dan pemudi haram melakukan
seks di luar nikah, akan tetapi berbeda halnya apabila pemuda dan pemudi
tersebut telah melakukan akad nikah, maka menjadi halal apabila melakukan seks.
2.
لَا حَقَّ
لِلزَّوْ جِ عَلَى زَو جَتِهِ إِلَّا فِي حُدُوْدِ يَمْسِ لِلزَّوَاجِ وَلَا حَقَّ
لِلزَّوْ جَةِ عَلَى زَوْجِهَا إِلَّا فِي حُدُوْدِأَوَامِرِ الشَّرْعِ فِيْمَا
يَمْسِى الزَّوَاجِ
Artinya: “Tidak
ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan
tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah
syariah yang berhubungan dengan pernikahan”
Kaidah
di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama
sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah
kepada isterinya atau isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang
pun tidak dapat mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau isteri tidak
boleh menarik kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul
terjadi. Contohnya juga seperti harta isteri yang didapat dari orang
tuanya, maka suami tidak boleh mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.
3.
كُلُّ
امْرَأَتَيْنِ لَوْ قُدَّرَتْ إحْدَاهُمَا ذَ كَرًا وَحُرِّ مَتْ عَلَيْهِ الأُخْرَى
فَلَا يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
Artinya: “Setiap
dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki
dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram untuk
dimadu”
Contohnya,
haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap
laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang
wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang
wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan
saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan
nikah dengan saudarannya.
4.
النِّكَاحُ
لَا يُفْسِدُ بِفَسَادِ الصدَا قِ
Artinya: “Akad
nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Contohnya,
Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil
menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka
nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.
5.
كُلُّ
عُضْوٍ حَرَّمَ النَّظْرَ إِلَيْهِ حَرَّمَ مَسَّهُ بِطَرِيْقٍ أَوْلَى
Artinya: “Setiap
anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”
6.
لَايُجَوِّ
زُ مُسْلِمُ كَافِرَةً
Artinya: “Wali
yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”
Contohnya,
Abu Bakar adalah seorang muslim yang memiliki anak beragama kafir, maka ia
tidak boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang
kafir tidak memilki wali nasab, tetapi dapat diwakilkan oleh wali hakim.
7.
مَنْ
عَلَقَ الطَّلَاقَ بِصِفَةٍ لَم يَقَعْ دُوْنَ وُجُوْدِهَا
Artinya: “Barangsiapa
yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa
terwujudnya sifat tadi”
Di
Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang
disebut dengan ta’liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya
terwujud dengan syarat si isteri tidak rela dan mengajukan gugatan ke
pengadilan.
Contohnya,
Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta’liq talak, maka apabila
dilanggar, talak tersebut jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya
tidak memberi nafkah isteri selama tiga bulan.
8.
كُلُّ
فِرْقَةٍمِنْ طَلَاقٍ أَوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطَءِ تُوْ جَبُ العِدَّةُ
Artinya: “Setiap
perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib ‘iddah”
Kaidah ini berhubungan dengan wajibnya „iddah (masa tunggu)
apabila terjadi perceraian.sudah tentu waktu menunggunya bermacam-macam
seperti diuraikan dalam kitab-kitab fikih
9.
كُلُّ
مَنْ أَدْلَى إِلَى الهَا لك بِوَاسِطَةٍ فَلَا يَرِثُ بِوُجُوْدِهَا
Artinya: “Setiap
orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia
tidak mewarisi selama perantara itu ada”
Contohnya, antara
kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal
masih hidup, karena kakek dihubngkan dengan orang yang meninggal melalui
bapak. Demikian juga anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu
laki-laki tidak dapat waris selama ada anak laki-laki dari orang yang
meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal
melalui anak laki-laki.
10.
كُلُّ
مَنْ وَرَثَ شَيْئًا وَرَثَهُ بِحُقُوْ قِهِ
Artinya: “Setiap
orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat
harta)”
Contohnya, hak
terhadap utang atau gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Maka
kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.
أَنَّ
الأَقْوَى قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ
Artinya: “Kekerabatan
yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”
Contohnya,
saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak
dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara
laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat
harta warisan hanya saudara laki-laki sekandung, karena kekerabatannya
lebih kuat yaitu melalui garis ibu dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki
sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya melalui garis bapak.
12.
لَاتِرْ
كَةَ إِلَّابَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak
ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang
meninggal)”
Artinya,
sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta
warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta
peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian
untuk utang. Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal
sepertiga. Sisanya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan
hukum waris Islam.
Kaidah
di atas dipertegas lagi dengan kaidah:
لَامِلْكِيَةَ لِلْوَرَثَةِ إِلَّا بَعْدَ
سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak
ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris setelah dilunasinya utang”
13.
لَايَصِحّ
الوَصِيَّةُ بِكُلِّ الماَ لِ
Artinya: “Tidak
sah wasiat dengan keseluruhan harta”
Dhabith
ini kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa maksimal wasiat
adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.[7]
Contohnya,
Usman yang memiliki harta 10 Trilliun, maka tidak boleh mewasiatkan harta
tersebut semuanya, karena maksimalnya hanya 1/3, jadi batasannya yang dapat
diwasiatkan 3 Trilliun.
14.
كُلُّ
مَنْ مَاتَ مِنْ المسْلِمِيْنَ لَاوَارِثَ لَهُ فَمَالَهُ لِبَيْتِ الماَلِ
Artinya:
“Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka
hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal”
Contohnya,
Saiful Unus yang tidak memiliki keluarga satupun, beliau juga memiliki harta
berlimpah, maka harta tersebut diserahkan kepada Bait al-Mal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat,
wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga.
Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain: 1) Hukum asal pada masalah
seks adalah haram. 2) Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam
batas-batas pernikahan dan tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali
dalam batas-batas perintah syariah yang berhubungan dengan pernikahan. 3)
Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai
laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram
untuk dimadu. 4) Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar. 5) Setiap
anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya. 6)
Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir. 7) Barangsiapa yang
menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa
terwujudnya sifat tadi. 8) Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah
campur, maka wajib ‘iddah 9) Setiap orang yang dihubungkan kepada yang
meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi selama perantara itu
ada. 10) Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya
(yang bersifat harta). 11) Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan
yang lebih lemah. 12) Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas
utang 13) Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta. 14) Setiap orang Islam
yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada
Bait al-Mal.
B. Kritik dan Saran
Sebagai
seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu,
dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih
sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai
manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata
pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan
banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]A. Djazuli, Ilmu Fiqih
: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta:
kencana, 2006, hlm. 169.
[2]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta:
Kencana, 2010, hlm. 122
Komentar
Posting Komentar